Posted by : Unknown
Minggu, 12 Oktober 2014
Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
Pembangkit
Listrik Tenaga Biogas Listrik dari Sampah Kota Menanggapi tulisan yang
berjudul Energi masa lalu, kini dan masa depan kita selaku kota yang
baru berdiri harus bercermin kepada kota yang sudah menghadapi masalah
dan mampu menyelesaikannya, khususnya terhadap permasalahan ketersediaan
energi yang sangat pokok dan penting tetapi mampu memecahkan
permasalahan lainnya.
Sampah
telah menjadi masalah besar terutama di kota-kota besar di Indonesia.
Hingga tahun 2020 mendatang, volume sampah perkotaan di Indonesia
diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Tahun 1995 saja, menurut
data yang dikeluarkan Asisten Deputi Urusan Limbah Domestik, Deputi V
Menteri Lingkungan Hidup, Chaerudin Hasyim, di Jakarta baru-baru ini,
setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah rata-rata 0,8 kilogram per
kapita per hari, sedangkan pada tahun 2000 meningkat menjadi 1 kilogram
per kapita per hari. Pada tahun 2020 mendatang diperkirakan mencapai
2,1 kilogram per kapita per hari. Meningkatnya sampah perkotaan telah
menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan. Bukan hanya pemandangan
tak sedap atau bau busuk yang ditimbulkannya tetapi juga ancaman
terhadap kesehatan. Untuk memanfaatkan sampah perkotaan sebenarnya telah
sejak lama diupayakan para ahli.
Salah
satunya adalah pemanfaatan untuk produksi listrik biogas dari sampah
kota. Namun sejauh ini, rencana tersebut baru sebatas wacana. Yang sudah
beroperasi dan baru saja diresmikan adalah listrik dari sekam padi di
Desa Cipancuh, Kecamatan Haur Geulis Indramayu, memanfaatkan sekam padi
yang selama ini terbuang. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sekam
pertama di Indonesia itu berkapasitas 100 ribu watt. Setelah sekam padi,
angin segar dihembuskan PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten yang
berniat memanfaatkan sampah di TPA Leuwigajah Cimahi dan TPA
Bantargebang Bekasi, untuk menghasilkan listrik, dengan menggandeng
investor swasta PT Navigat Organik Energy Indonesia. Saat ini, rencana
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTB) dari sampah kota itu
memang masih dalam tahap MoU.
Selain
mengatasi masalah sampah kota, diharapkan pemanfaatan sampah untuk
listrik tersebut juga bisa membantu PLN dalam mengatasi krisis enerji
listrik. Paling tidak, listrik penduduk di seputar TPA tak akan
sering-sering byar pet. Bila PLTB di TPA Leuwigajah tersebut beroperasi,
pada mulanya akan memberikan kontribusi pasokan listrik sebesar 1 MW
(mega watt) terhadap jaringan PLN di wilayah Distribusi Jawa Barat dan
Banten, dengan kapasitas maksimumnya 10 MW. Meski kontribusi listrik
sebesar 1 MW tergolong relatif kecil, namun jika disalurkan kepada
pelanggan rumah tangga daya tersambung 450 atau 900 VA (volt ampere)
dengan pemakaian rata-rata misalnya 100 kwh (kilo watt hour) perbulan,
diperkirakan dapat memasok kepada sekira 10 ribu pelanggan.
Menurut
Direktur Utama PT Navigat Organic Energy Indonesia, Sri Andini, selain
ingin turut memberikan kontribusi enerji listrik, pembangunan PLTB itu
diharapkan pula mampu memberikan solusi terhadap permasalahan sampah
selama ini. Upaya tersebut sekaligus pula agar masyarakat terbebas dari
hal-hal yang membahayakan lingkungan, terutama akibat limbah sampah yang
dapat mengeluarkan gas-gas beracun. "Melalui pengelolaan energi biogas
dari sampah ini, gas metan yang dihasilkan limbah sampah itu dapat
diolah menjadi energi listrik," jelasnya usai menandatangani MoU (nota
kesepahaman) "Rencana Jual Beli Tenaga Listrik Pembangkit Listrik Tenaga
Biogas dari Sampah TPA (tempat pembuangan akhir) Leuwigajah-Cimahi"
antara PT PLN (Persero) Distribusi Jabar-Banten dan PT Navigat Organic
Energy Indonesia. Menurut Sri, saat ini pembangkit listrik tenaga biogas
di TPA Leuwigajah dan Bantar Gebang tersebut masih dalam perencanaan
dan akan segera dibangun.
Pembangunan
diperkirakan memakan waktu sekira enam bulan, dengan kapasitas maksimum
pembangkit sebesar 10 MW (mega watt) dan mulai dapat beroperasi 9 bulan
lagi. "Untuk tahap awal nanti, kapasitasnya baru 1 MW. Selain di
Leuwigajah, juga ada di Bantar Gebang Bekasi dengan kapasitas maksimum
pembangkit mencapai 35 MW. Sebelum membangun PLTB, sambung Sri, pihaknya
akan mengupayakan dulu composing pada TPA tersebut, kendati kegiatan
ini dinilai tidak akan berkembang. Pasalnya, untuk melakukan itu harus
melalui banyak prosedur dan kemungkinan besar dapat mengganggu
keberadaan pemulung. "PLTB sendiri tidak akan mengganggu pemulung,
sehingga mereka masih dapat mencari keuntungan dari sampah-sampah yang
ada," jelasnya.
Mengenai
besarnya alokasi investasi yang dibutuhkan untuk membangun PLTB
tersebut, Sri mengakui dananya cukup besar. Meski begitu, ia belum dapat
menyebutkan nominalnya, karena harus melakukan survei di lapangan dan
perhitungan berbagai biaya yang timbul. Begitu pula keuntungan ekonomis
dari investasi bisnis PLTB ini, yang tidak dapat langsung dirasakan
perolehan laba terutama untuk jangka pendek, tapi akan mulai dirasakan
untuk jangka panjang. Selain membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk
membangun PLTB dari sampah, yakni mulai dari pembangunan instalasi,
pengeboran, maupun infrastruktur lainnya, juga akan memakan waktu lama
untuk mencapai keuntungan ekonomis. BEP (break event point atau titik
impasnya saja baru dapat tercapai selama 9 sampai 10 tahun mendatang.
Sri mengakui, pembangkit listrik tenaga biogas tersebut merupakan yang
pertama di Indonesia. Kalau di negara-negara lain terutama di Eropa,
termasuk di Asia seperti Korea Selatan, Malaysia maupun Thailand sudah
berjalan.
Di
Inggris misalnya, pembangkit listrik tenaga biogas sampah sudah berjalan
selama 15 tahun dengan kapasitas mencapai 400 MW. "Pembangunan PLTB ini
tidak hanya di TPA Leuwigajah dan Bantargebang saja, karena sebelumnya
kita juga telah melakukan kerjasama dengan PLN Sumatera Selatan. Bahkan
di masa mendatang, kita akan melakukannya di seluruh Indonesia," tambah
Sri. Namun menurut catatan "PR" pemanfaatan sampah untuk listrik sudah
pernah dibuat di TPA Pasir Impun yang terletak di Desa Karang Pamulang,
sekira 6 Km dari arah timur Kota Bandung. Di TPA seluas 7 hektar itu,
sekira 500-1.000 meter kubik sampah yang dibuang ke sana dimanfaatkan
untuk pembuatan listrik biogas. Pembuatan listrik biogas di sana
menggunakan parit-parit yang kemudian biogas hasil pembusukan sampah
organik itu disalurkan dari parit ke pompa vortex. Vortex kemudian
mengalirkan gas metana yang mudah terbakar ini ke sebuah mesin diesel
yang menghasilkan daya listrik sebesar 40.000 watt. ** PLTB merupakan
salah satu upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan, terutama dalam
menangani limbah sampah utamanya sampah organik. Sekaligus menjadi salah
satu alternatif memberikan pasokan energi listrik yang dinilai cukup
terbatas selama ini.
Serta
masih banyak menggantungkan pada pembangkit listrik seperti PLTA
(Pembangkit Listrik Tenaga Air), dsb. Mengenai besaran HPP (harga pokok
produksi) yang akan ditetapkan perusahaan, Sri menjelaskan pihaknya akan
tetap mengikuti aturan dari pemerintah untuk menetapkan besarnya HPP.
"Jadi, apa yang ditetapkan oleh pemerintah akan kita ikuti. Harga
listrik yang akan dijual, kita mengikuti harga PLN atau pemerintah,"
ujarnya. Hal senada diungkapkan Agus Pranoto. Pada prinsipnya HPP
tersebut akan dibicarakan lagi lebih lanjut. Meski demikian, secara umum
sebenarnya telah ada kebijakan yang mengatur besarnya HPP, baik dari
pemerintah maupun PLN itu sendiri. Bagi PLN misalnya, HPP dapat mencapai
tingkat keekonomisannya sekira 7 sen dolar AS per kwh (kilo watt
hours).
Melalui
rencana pembangunan PLTB di TPA Leuwigajah dan Bantar Gebang Bekasi
tersebut, Agus mengharapkan pada akhir tahun 2003 ini PLTB tersebut
dapat memberikan kontribusi sebesar 1 MW. "Meski tidak signifikan, tapi
itu dapat memberikan dukungan moral yang luar biasa untuk menghadapi
krisis enerji. Jadi, makin cepat makin bagus," ucap Agus. Diakui, sejauh
ini tengah digalakkan pembangunsan pembangkit listrik dengan tenaga
terbarukan. Sejauh ini, PLN sangat mengharapkan adanya pembangunan
pembangkit baru. Pasalnya, kebutuhan enerji listrik dari tahun ke tahun
terus berkembang. "Jadi, berapapun listrik yang dapat disediakan PLTB,
kita akan beli. Tentang harga, nanti akan kita bicarakan. Yang pasti PLN
ataupun pemerintah sudah memiliki patokan yang jelas," tegasnya. Selain
dengan PLN Distribusi Jabar dan Banten, PT Navigat Organic Energy
Indonesia telah melakukan kerjasama dengan PT PLN Distribusi Jawa Timur
di bidang jual beli energi listrik berbahan baku sampah bertegangan 20
kV dan frekuensi 50 hertz, baru-baru ini.
Menurut Manajer Humas PT PLN Distribusi Jatim, Bambang Harmanto,
kerjasama tersebut merupakan bagian dari rangkaian negosiasi dengan
sejumlah perusahaan swasta yang memiliki pembangkit dan kelebihan daya,
untuk memenuhi tingginya permintaan energi listrik dari industri. Selain
PT Navigat, sebuah perusahaan swasta lain yakni PT Ginaris Mukti
Adiluhung (GMA) telah menawarkan pula teknologi mengubah sampah menjadi
energi listrik (waste to energy) ke Pemprov DKI, baru-baru ini. GMA
menawarkan Pemprov DKI agar membayar Rp 30 ribu untuk setiap ton sampah
yang mereka ubah menjadi listrik. Meski demikian Eddy Mardanus dari GMA
mengakui, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengubah sampah menjadi
energi listrik memerlukan biaya tiga kali lipat dibandingkan biaya
pembangkit biasa. Dengan begitu, dana yang dibayar Rp 30 ribu tersebut
tergolong cukup wajar, apalagi Pemprov DKI selama ini mengeluarkan biaya
untuk tiap ton sampah.